Sunday, 24 June 2012

Apakah harus guru yang disalahkan ?

Filled under:

“Para siswa, apa layak minta lulus apabila kamu semua saja males belajar?”. “Layak, Bu…!”, jawab siswa kelas 9 serentak. “Sekarang untuk para siswa kelas 7 dan 8, kamu ternyata juga males belajar. Apakah layak dan pantas kamu minta naik kelas?”. Serentak siswa kelas 9 yang menjawab, “Tidak, Bu…”.


Dialaog terbuka tersebut terjadi saat pembina upacara memberikan pembinaan pada Senin pagi kemarin. Bu guru tetap bersemangat dengan memberikan nasehat dan semangat agar seluruh siswa giat belajar. Sangat terasa, guru tersebut memahami kenyataan yang ada pada diri siswanya.
Sangkaan jarang atau bahkan tidak mau belajar merupakan jawaban pasti. Hanya dengan hitungan jari saja dari 456 siswa yang datang di sekolah setiap hari merasa bahwa dirinya punya kewajiban belajar. Bila guru menanyakan apakah malamnya belajar, jawaban yang keluar dari mulut yang masih lumayan jujur adalah tidak. Atau diam. Atau saling melihat sesama siswa.
Ini terjadi di sekolah agak pinggiran belahan tenggara Yogyakarta.
Ini salah siapa?
Yg sering jadi sasaran tudingan sekolah. Lebih khusus guru. Tentu saja dalam hal ini guru tidak mau disalahkan secara sepihak. Mereka merasa bahwa sudah melakukan hal yang terbaik: mempersipakan pembelajaran dengan selengkap-lengkapnya. Melaksanakan pembelajaran dengan setertib-tertibnya. Evaluasi pun dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Namun, kekecewaan dan kesedihan yang dirasakan guru, ketika hasil yang dicapai siswa jauh dari harapan. Jangankan melebihi KKM, mendekati pun jarang.
Nah, bila ujian menjelang tiba, gurulah yang sibuk mencari cara bagaimana siswanya dapat lulus. Dari yang masuk akal, sampai yang tidak masuk akal. Yang masuk akal misalnya, sekolah/ guru memberikan latihan-latihan soal yang lumayan banyak dan melelahkan. Bila latihan-latihan ujian pun hasilnya belum memungkinkan siswa nanti lulus, diperbanyak doa. Dari doa sendiri, doa bersama. Tidak cukup dengan hal tersebut, mujahadah kubro pun dilaksanakan.
Masih ragu, kelihatannya siswa jauh dari harapan. Mulailah cara-cara muskil. Pensil yang akan digunakan mengerjakan soal dikumpulkan. Lalu pensil tersebut dibawa ke orang pinter. Setelah di jopa japu pensil dibagikan dengan harapan siswa lancar mengerjakan soal, dan hasilnya joss. Tidak cukup itu. Ada juga, pensil di bawa ke orang pinter. Oleh orang pinter tersebut pensil dicelup ke air di gelas. Nah, setelah di jopa japu, selain pensil dibagikan, air pun agar diminumkan. Luar biasa.
E, ternyata hasilnya juga belum bagus. Sedangkan masyarakat dan publik ndak mau tahu, bila kelulusan sekolah tidak baik, maka sekolah tersebut tidak baik. Masyarakat tidak mau tahu. Berapa persenkah peran sekolah dalam mendidik para siswa. Bukankah masih ada yang harus terlibat dan bertanggung jawab: keluarga dan masyarakat,
Kenyataannya, memang siswa dininabobokkan oleh keasyikan permainan yang lebih kepada menjerumuskan ketimbang membawanya ke arah lebih positif. Makhluk itu bernama HP dan internet.
Tidak bermaksud menganggap remeh dua alat komunikasi tersebut, hanya saja segala kemanfaatan yg ada pada kedua alat tersebut dapat menjadi sumber petaka bg penggunanya. Bagi siswa di daerah pinggiran, media tersebut belum menjadi pemicu kemajuan pendidikan bg penggunanya. Yang memanfaatkan sebagai media dan atau sumber belajar sangat kecil prosentasenya. Suatu saat penulis mengajukan beberapa pertanyaan terkait pemanfaatan HP dan internet kepada beberapa siswa. Jawabannya beragam. Namun 90% menjawab memiliki atau menggunakan dua media tersebut baru sebatas sebagai hiburan. Khusus penggunaan internet lebih kepada hal-hal yang mengarah negatif mengasyikkan.
Itulah. Akhirnya, banyak siswa yang terlena akan belajarnya. Hasil ujian pun, jauh dari yang diharapkan. Ketika prosentase ketidaklulusan tinggi, masyarakat, bahkan termasuk instansi terkait akan menuding bahwa sekolah, dalam hal ini huru telah gagal.
Lalu?

Informasi Pendidikan

guru disalahkan karena anak gagal dlam UN, hasil belajar siswa di daerah pinggiran, kenapa selalu guru yang disalahkan karena ketidaklulusan anak, siapa yang di salahkan?

0 komentar:

Post a Comment