Alhamdulillah jika Allah menghendaki, kandungan istriku memasuki
bulan ke-3, artinya Ramadhan tahun ini istriku dalam keadaan mengandung.
Apakah seorang wanita yang sedang mengandung atau menyusui wajib menjalankan puasa Ramadhan?
Wanita hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah (keringanan) berupa bolehnya berbuka di bulan Ramadhan.
Diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Isa no.715, Abu Daud no.2408 dan Ibnu
Majah no.1667 dari hadits Anas bin Malik Al-Ka’by bahwa Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan seperdua shalat
dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau
menyusui”.
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para ‘ulama tentang
bolehnya wanita menyusui dan hamil jika mengkhawatirkan dirinya atau
mengkhawatirkan janinnya atau anaknya untuk berbuka.
Jika wanita hamil atau menyusui berbuka pada bulan Ramadhan karena
mengkhawatirkan dirinya dan atau anaknya, maka wajib baginya untuk
membayar fidyah berupa memberi makan untuk setiap harinya satu orang
miskin, dan tidak meng-qodho` puasanya, kecuali kalau dia tidak khawatir
terhadap dirinya dan atau anaknya jika ia berpuasa untuk mengganti
puasanya (meng-qodho`nya) dan dia sanggup untuk itu, maka dia boleh
meng-qodho`nya dan tidak usah membayar fidyah. Dalilnya adalah
pengecualian/pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan tua, orang sakit
yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya dan wanita hamil serta wanita
menyusui yang mengkhawatirkan dirinya atau anaknya dari Firman Allah
subhanahu wa ta’ala :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang mampu untuk berpuasa (boleh bagi
mereka untuk membayar) fidyah (berupa) memberi makan bagi orang miskin”.
Sebab penunjukan makna yang umum yang terdapat pada ayat ini dijelaskan pada ayat lainnya.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
Dan ditetapkan bagi laki-laki/wanita tua yang tidak sanggup lagi
untuk berpuasa, orang sakit yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh
(karena penyakitnya yang berat dan berlangsung lama) demikian pula
wanita hamil dan menyusui yang jika keduanya mengkhawatirkan diri dan
atau anak-anaknya.
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
“Diberikan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tua dan wanita tua
pada masalah ini (puasa) sementara keduanya mampu berpuasa untuk berbuka
jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak
wajib qodho` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan
(hukum) di dalam ayat ini :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua jika tidak sanggup
berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir,
untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin”.
(Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230) dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh
Salim Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid : Sanadnya shohih
(lihat : Sifat Puasa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam Dalam
Ramadhan hal.80).
Peringatan/catatan Penting tentang wanita mustahadhah
Wanita yang mengalami istihadhah yaitu wanita yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan darah haidh.
Wanita yang mengalami istihadhah ini wajib untuk melaksanakan puasa
dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka) karena sebab darah
istihadhah.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Berbeda dengan
istihadhah, Istihadhah (bisa) mencakup pada seluruh waktu (artinya bisa
terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu khusus yang diperintahkan
untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak mungkin baginya
untuk menghindari istihadhah seperti tidak mungkinnya dia mencegah
muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang
tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka
istihadhah ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa
seperti darah haidh (Majmu’ Al- Fatawa 25/251). Al-Ustadz Abu ‘Abdillah
Mustamin Musaruddin.
0 komentar:
Post a Comment